Oleh Ust. Drs. Abu Bakar
MAKNA HIJRAH
Secara Bahasa
Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan sesuatu, memutuskan persahabatan, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lain.Menurut Tarikh (Sejarah)
Menurut istilah para ahli sejarah, hijrah yang dimaksud adalah perpindahan tempat tinggal Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau dari Makkah menuju Madinah. Orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi ﷺ disebut kaum Muhājirīn, sedangkan penduduk Madinah yang memberikan pertolongan dan sambutan disebut kaum Anṣār (yakni penduduk asli Madinah).
Sebagian ulama membagi hijrah menjadi dua macam:
1. Hijrah Qalbiyyah
Hijrah hati, pikiran, dan perasaan dari hal-hal yang buruk, seperti syirik, khurafat, tahayul, bid‘ah, dan akhlak tercela, menuju hal-hal yang baik, seperti akidah yang bersih, ibadah yang ikhlas, dan akhlak mulia.
Dengan kata lain, secara fisik seseorang tetap di tempatnya, tidak berpindah, tetapi batinnya berubah—suasana psikologisnya berubah dari pandangan yang sempit menuju pandangan yang luas dan benar.
2. Hijrah Jasadiyyah
Hijrah secara fisik, seperti pindah tempat, pindah rumah, pindah daerah, bahkan pindah negara.
Hijrah dalam arti berpindah tempat ini tentu memiliki berbagai alasan. Namun, jika merujuk pada hijrah yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah, maka itu dilakukan karena perintah Allah Swt. untuk mengembangkan dakwah Islamiyah. Madinah dipandang sebagai tempat yang relatif aman dan nyaman untuk dijadikan basis dakwah Islam.
SEBAB-SEBAB HIJRAH
Beberapa sebab hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau (hijrah jasadiyyah) dari Makkah ke Madinah antara lain:
Tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy terhadap Nabi ﷺ dan para pengikut beliau tidak kunjung berhenti.
Islam telah diterima oleh masyarakat Madinah.
Suku Khazraj dan Aus bersedia menjaga keselamatan Nabi ﷺ dan para sahabat beliau.
Dua suku tersebut termasuk suku terbesar di Madinah, dan telah masuk Islam pada tahun ke-12 kenabian (sekitar tahun 621 M), pada saat Bai‘at ‘Aqabah I, dan dikuatkan kembali dengan Bai‘at ‘Aqabah II pada tahun ke-13 kenabian. Di tahun ke-13 itulah Nabi ﷺ dan para sahabat hijrah ke Madinah.
Namun yang paling mendasar, hijrah tersebut adalah perintah langsung dari Allah Swt. (Lihat QS. An-Nisā’ : 100, Al-Anfāl : 72, 74, dan lainnya.)
Dengan masuk Islamnya dua suku besar di Madinah, Nabi ﷺ telah memiliki modal politik yang kuat untuk mengembangkan taktik dan strategi dakwah Islamiyah ke berbagai penjuru Jazirah Arab dan bahkan luar Arab.
Jadi, hijrah ke Madinah dipahami sebagai bagian dari taktik dakwah, bukan karena rasa takut kepada kaum Quraisy. Madinah dipandang sebagai tempat yang lebih aman dan strategis untuk menjadi basis dakwah, dengan dukungan politik serta jamaah Islam yang cukup besar, terutama dari suku Khazraj dan Aus.
Peristiwa hijrah inilah yang kemudian dijadikan sebagai awal penanggalan kalender Hijriyah atau kalender Islam.
Pada tahun ke-17 setelah hijrah, Khalifah ‘Umar bin Khattāb ra. menetapkan perhitungan bulan dalam kalender Hijriyah, yaitu:
Muḥarram
Ṣafar
Rabi‘ul Awwal
Rabi‘ul Ākhir
Jumādil Ūlā
Jumādil Ākhirah
Rajab
Sya‘bān
Ramaḍān
Syawwāl
Dzulqa‘dah
Dzulḥijjah
Umat Islam wajib mengetahui dan menghafal nama-nama bulan Hijriyah, karena penentuan usia balig, waktu ibadah, dan peristiwa keagamaan lainnya didasarkan pada kalender Hijriyah, bukan Masehi. Terdapat selisih sekitar 11 hari antara tahun Hijriyah dan Masehi setiap tahunnya.
MENYIKAPI TAHUN BARU HIJRIYAH
Semangat hijriyah adalah semangat jihad di jalan Allah Swt., semangat pencerahan, perubahan, dan pembaruan. Jihad dalam arti luas tidak hanya berperang di medan laga, tetapi juga memerangi kebodohan umat dengan pencerahan, mengentaskan kemiskinan, menguatkan ukhuwah Islamiyah, memilih pemimpin yang membela Islam, dan sebagainya.
Sebagai refleksi dan evaluasi pergantian tahun, khususnya bagi umat Islam, tidak ada salahnya kita bertadabbur: merenung dan memikirkan apakah amal ibadah kita tahun lalu sudah baik atau belum? Lalu, apa yang mesti kita lakukan untuk tahun ini? Yang lebih utama, tentu saja, adalah bertadabbur setiap hari dan malam, sebab Islam mengajarkan demikian.
Perhatikan hadis inspiratif berikut:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُونٌ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُونٌ
“Barang siapa (prestasi amal ibadahnya) hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung. Barang siapa hari ini sama dengan kemarin (tidak meningkat), maka dia adalah orang yang merugi. Dan barang siapa hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia adalah orang yang dilaknat oleh Allah Swt.” (HR. Ṭabarānī)
Hadis lain:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya (amalnya terus meningkat), dan seburuk-buruk manusia adalah orang yang panjang umurnya tetapi amalnya buruk (tidak ada kemajuan).” (HR. Aḥmad dari Abū Bakrah ra.)
Semoga amal ibadah kita semua terus mengalami kemajuan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun hingga akhir hayat.
Menyikapi tahun baru Hijriyah, tidak ada ajaran Islam yang otentik mengenai membaca dzikir bersama, doa bersama, salat tahajud bersama, dan sejenisnya. Hal itu tidak ada tuntunannya dari Allah Swt. maupun dari Nabi Muhammad ﷺ.
EMPAT BULAN MULIA
Perhatikan firman Allah Swt. berikut:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan dalam kitab Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram (suci).” (QS. At-Taubah: 36)
Di bulan-bulan tersebut, apabila berbuat kebaikan maka pahalanya berlipat ganda. Sebaliknya, apabila berbuat dosa, maka dosanya juga dilipatgandakan. Demikian menurut Imam Ath-Ṭabarī berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās ra. Bulan-bulan ini disebut sebagai bulan syi‘ar Allah Swt., dan dilarang berperang di dalamnya.
Imam Ibnu Katsīr menyebutkan bahwa empat bulan mulia tersebut adalah tiga bulan berturut-turut: Dzulqa‘dah, Dzulḥijjah, Muḥarram, dan satu bulan yang terpisah yaitu Rajab.
Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan keutamaan satu bulan di antara empat bulan mulia ini dibanding yang lain, baik dalam hal puasa maupun qiyāmul-lail, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī (penyusun Fatḥul Bārī, syarah Ṣaḥīḥ Bukhārī).
Namun puasa yang dimaksud adalah puasa sunnah yang disyariatkan seperti:
Puasa Dawūd (sehari puasa sehari berbuka)
Puasa Senin-Kamis
Puasa Ayyāmul Biḍ (tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan)
Adapun bulan Muḥarram memiliki kekhususan, yaitu puasa pada tanggal 10 (Āsyūrā’) dan tanggal 9 (Tāsū‘ā’) sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya, insya Allah.
TARĠĪB SHAUM MUḤARRAM
Amat dianjurkan di bulan Muḥarram untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt., seperti:
Puasa Dawūd (sehari puasa, sehari tidak)
Puasa Senin-Kamis
Puasa Ayyāmul Biḍ (tanggal 13, 14, dan 15)
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، قَالَ: مَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
"Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa pada hari ‘Āsyūrā’ di masa jahiliah. Rasulullah ﷺ juga melakukannya. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk ikut berpuasa. Namun setelah puasa Ramadan diwajibkan, beliau bersabda: 'Barang siapa yang mau, silakan berpuasa (Āsyūrā’), dan barang siapa yang tidak mau, silakan meninggalkannya.'" (HR. Bukhārī dan Muslim dari ‘Āisyah ra.)
Awalnya puasa ‘Āsyūrā’ bersifat wajib, tetapi setelah diwajibkan puasa Ramadan, statusnya menjadi sunnah muakkadah.
ثُمَّ سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
"Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang puasa hari ‘Āsyūrā’. Beliau menjawab, '(Puasa tersebut) menghapus dosa satu tahun yang lalu.'" (HR. Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa dosa yang dihapus adalah dosa-dosa kecil. Jika seseorang tidak memiliki dosa kecil, maka Allah akan meringankan dosa-dosa besar atau meninggikan derajatnya di sisi-Nya.
SHAUM TĀSŪ‘Ā’
Semula Nabi Muhammad ﷺ hanya menyebutkan puasa ‘Āsyūrā’. Namun, agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani, kemudian Nabi ﷺ menyuruh umat Islam untuk juga berpuasa pada hari kesembilan Muharram, yang disebut "Tāsū‘ā’."
Sebagian peneliti hadis menyatakan bahwa hadis tentang larangan menyerupai tersebut tergolong hadis mu‘an‘an, yaitu hadis yang lemah (namun tidak terlalu lemah). Akan tetapi, ada hadis lain yang menguatkan anjuran berpuasa pada tanggal sembilan. Perhatikan hadis berikut:
إِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
"Apabila tahun depan tiba, insya Allah, kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan." (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbās ra.)
Kata Ibnu ‘Abbās ra.: Sebelum tahun yang dijanjikan itu tiba, Rasulullah ﷺ telah wafat.
Inilah yang disebut dengan sunnah hammiyyah, yaitu perintah sunnah yang direncanakan secara kuat namun belum terlaksana. Dalam hal ini, para ulama berpendapat bahwa hal tersebut tetap bisa diamalkan dan dihukumi sebagai sunnah.
Dalam konteks ini, para ulama menetapkan bahwa puasa ‘Āsyūrā’ memiliki tiga tingkatan:
Tingkatan utama: berpuasa tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.
Tingkatan menengah: berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram.
Tingkatan dasar: berpuasa tanggal 10 saja.
Namun, yang secara eksplisit disebutkan oleh Nabi ﷺ adalah tanggal 10 dan 9, dengan penekanan yang lebih jelas pada tanggal 10.
Bārakallāhu fīkum.
Sumber Bacaan:
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Jilid 1, hlm. 380–384
Jāmi‘ At-Tirmiżī, hlm. 249, hadis no. 752–755
Sunan An-Nasā’ī, hlm. 271, hadis no. 2380–2382
Pedoman Puasa, Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 311–316
Sīrah Nabawiyyah, Nūrul Yaqīn, hal. 56–90, Khudaeri Beik
Kamus Al-Kautsar, hal. 507
Buku khutbah, dan lain-lain
Komentar
Posting Komentar