SEPUTAR FIQIH HAIDL BAGI WANITA

 Oleh Drs. Abu Bakar





Ada beberapa hal terkait bahasan masalah "HAIDL"  bagi wanita ini.  Di dalam Kitab Fiqih Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq, jilid I halaman 21 - 23 - tentu saja dalam kitab-kitab fiqih lainnya - dijelaskan seputar permasalahan "Haidl" ini sebagai berikut :

1. Pengertian

Asal haidl menurut bahasa adalah mengalir. Tetapi yang dimaksud di sini adalah, darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam keadaan sehat, bukan sebab melahirkan dan bukan pula sebab pecahnya keperawanan. 

2. Waktu Mulai Haidl

Kebanyakan para 'Ulama (Fiqih) berpandangan bahwa waktu datang bulan (haid) itu tidak dimulai sebelum sampai wanita itu berumur 9 tahun.  Tatkala ia melihat darah sebelum sampai usia ini, maka itu bukanlah darah haidl, tetapi itu darah penyakit dan (atau) darah kerusakan (bekas bahaya atau musibah).   Dan terkadang haidl itu menjadi panjang waktunya sampai akhir umur.  Dan tidak ada dalil yang datang (yang menjelaskan) batasan akhir darinya.  Karena itu, kapan saja seorang nenek yang sudah berumur melihat darah (umpamanya),  maka itu adalah darah haidl.

3. Warna Darah Haidl

Disyaratkan mengenai keberadaan darah haidl, hendaklah berada pada salah satu warna dari macam-macam warna darah sebagai berikut :

1- Hitam

Hal ini didasari hadits yang bersumber dari Fathimah binti Abi Hubisy r.a. bahwa ia pernah mengalami haidl, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya : 

إذا كان دم الحيضة فإنه أسود يعرف ، فاذا كان كذلك فامسكي عن الصلاة ، فاذا كان الآخر فتوضئي وصلي فإنما هو عرق .

Artinya :

"Tatkala terjadi darah haidl, maka sesungguhnya ia berwarna hitam yang dikenali (oleh kaum wanita).  Bila terjadi seperti itu, maka tahanlah kamu dari mengerjakan shalat, tetapi jika terjadi (keluar darahnya) selain itu, maka berwudlu lah dan shalatlah kamu (wahai Fathimah !), maka sesungguhnya hal itu adalah darah 'irqun (darah penyakit, bukan darah haidl)".   [ HR. Abu Dawud, Nasa-i, Ibnu Hibban,  Daruquthni dan Hakim dari Fathimah binti Hubaisy r.a.  Kata Imam Daruquthni, sanad hadits ini seluruhnya terperpercaya, sementara Hakim mengatakan : Hadits ini sesuai syarat Imam Muslim ]

2. Warna Merah

Sesungguhnya merah itu adalah warna asal darah.

3. Warna (darahnya) Kekuning-kuningan.

Yaitu, air yang dilihat oleh wanita bersangkutan seperti nanah yang cenderung warna kekuning-kuningan. 

4. Warna (darahnya) Butek / Kotor.

Yaitu warna darah yang tengah-tengah antara warna putih dan hitam, seperti air yang keruh (butek).   Hal ini berdasar hadits 'Alqomah bin Abi 'Alqomah dari ibunya Marjanah, maula 'Aisyah r.a., ia berkata :

"Adalah wanita-wanita diutus untuk menuju 'Aisyah (r.a.) dengan membawa sebuah wadah parfum yang di dalamnya terdapat kapas yang mengandung warna kuning (dari dari darah haidl), lalu 'Aisyah berkata :

"Janganlah kamu terburu-buru (untuk mandi atau melaksanakan shalat), sehingga kamu benar-benar melihat kapas (yang bekas ditempelkan di kemaluan itu) yang putih bersih".  ( HR. Malik dan Muhammad bin Hasan dari Marjanah, anak asuh 'Aisyah r.a.  Imam Bukhari  menggantungkan hadits ini ). 

Sesungguhnya warna kuning dan warna kotor dari darah haidl itu, hanyalah terjadi di hari-hari haidl, selain dari hari-hari itu (bukan dalam masa haidl), maka warna kuning dan warna kotor (butek) itu tidaklah dianggap sebagai haidl.    Hal ini berdasar hadits yang bersumber dari Ummi 'Athiyah r.a., ia berkata :

كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا .  

"Kami (wanita-wanita) tidak menghitung (menganggap) apa-apa sedikitpun warna kuning dan warna kotor (seperti air dedaki) itu sesudah (kami dalam keadaan) suci".   ( HR. Abu Dawud dan Bukhari Ummi 'Athiyah r.a., tetapi Imam Bukhari tidak menyebut-nyebut kalimat, "بعد الطهر" ).

4. Masa Lamanya Haidl

Tidak terdapat ketentuan yang pasti masa sedikit haidl dan tidak pula masa lebih banyak ( lebih lama ) nya.   Dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan hujjah yang sampai kepada kita mengenai ketentuan tempo waktunya haidl. 

Kemudian, jika terjadi pada wanita suatu kebiasaan yang ditetapkan (masa haidlnya), maka hendaklah ia melakukan atasnya.   Berdasar hadits Ummi Salamah r.a., bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulallah SAW untuk seorang wanita yang mengalir terus darahnya.   Beliau bersabda : "Hendaklah ia menunggu sekira beberapa malam dan beberapa hari dimana ia haidl, dan sekira beberapa malam dan beberapa hari dari sebulan itu lalu ia meninggalkan shalat,  kemudian (lewat) dari sebulan itu hendaklah mandi dan menutupi dengan kencang kemaluannya (pakai pempress), kemudian hendaklah ia shalat".  ( HR. Khamsah /Lima orang ahli hadits, kecuali  Tirmidzi, dari Ummi Salamah r.a. ).

Tetapi jika ia (wanita) tidak mempunya kebiasaan yang ditetapkan (yang pasti masa haidlnya), maka ia hendaklah kembali kepada indikator (tanda-tanda) yang bisa dijadikan faidah (atau sudah dikenali oleh kaum wanita) dari darah (haidl) itu.   Mengingat hadits yang bersumber dari Fathimah bin Hubaisy r.a. terdahulu, dimana di dalamnya terdapat sabda Nabi SAW :  "Tatkala terjadi darah haidl, sesungguhnya ia berwarna hitam yang diketahui (sudah dikenal oleh wanita)".  

Hadits ini menunjukkan bahwa darah haidl itu bereda dari darah yang lainnya, dikenali (populer) di kalangan kaum wanita.

5. Masa-masa Suci Diantara Dua Haidl (Haidl yang ke satu ke Haidl berikutnya)

Para 'Ulama telah sepakat bahwa sesungguhnya tidak ada batasan (waktu) untuk lebih banyak (lama) suci yang menyelingi diantara dua haidl.  Tetapi mereka berbeda pandangan mengenai "Lebih sedikitnya masa suci".   Sebahagian mereka ('Ulama) menentukan, paling sedikit masa suci itu adalah 15 hari, sebahagian kelompok yang lain menentukan 13 hari.   Yang benar - menurut analisis Syaikh Sayyid Sabiq (berdasar dalil-dalil dan i'tibar yang ada) adalah bahwasanya tidak sampai datang (kepada kita) mengenai ketentuan yang pasti dari masa minimal sunci antara dua haidl ini, suatu dalil yang dapat dibangun untuk dijadikan hujjah (argumentasi) untuk memastikan batas waktu suci diantara dua haidl ini.  

Demikian, semoga bermanfaat.  Baarokallaahu fiikum.  


Sumber bacaan :

1. Fiqh Sunnah, jld I, hal. 71-73.

2. Subulussalam, Ash-Shan'any.

3. Zaadul Ma'ad, Ibnu Qoyyim.

4. Fiqih Islam, H. Sulaiman Rasyid, dll.

Komentar