SHALAT JUM'AT (BERJAMA'AH) DI MASJID BERTINGKAT

 Oleh Drs. Abu Bakar




Sering kita menyaksikan kaum muslimin melaksanakan shalat Jum'at atau berjama'ah sehari-hari di Masjid yang bangunannya bertingkat dan tanahnya luas.

Ada beberapa hadits ditemukan terkait dengan masalah di atas, diantaranya :

عن سهل بن سعد ر.ع. قال: إن النبي ص.م. جلس على المنبر في اول يوم وضع ، فكبر وهو عليه ، ثم ركع ثم نزل القهقرى فسجد ، وسجد الناس معه ثم عاد حتى فرغ.  فلما انصرف قال : ياايها النااس انما فعلت هذا لتأتموا بي  ولتعلموا صلاتي .

Artinya :

Sahl bin Sa'd r.a.menerangkan : "Bahwasanya Nabi SAW  duduk di atas di hari pertama mimbar itu dibuat, lalu bertakbir sedang Beliau berada di atasnya (di atas mimbar). Kemudian Beliau ruku', sesudah itu Beliau turun dengan mundur di belakang (turun ke bawah) lalu bersujud, dan bersujudlah manusia (para makmum) bersamanya. Kemudian Beliau kembali lagi (ke atas mimbar, ... begitu seterusnya) hingga selesai shalat.  Ketika selesai shalat, Beliau bersabda : "Wahai manusia, saya berbuat demikian itu adalah supaya kamu mengikuti saya dan supaya kamu mengetahui (bagaimana) shalat saya".  (HR. Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'd r.a.)

Konten (isi matan) hadits di atas, bahwa Nabi SAW kiranya membolehkan imam berada di posisi (tempat) yang lebih tinggi dari makmum. Hal ini macam di bangunan masjid yang bertingkat.

Memang ada hadits riwayat Imam Daruquthni dari Abi Mas'ud r.a. yang melarang imam berdiri di atas sesuatu, sedang makmum di belakangnya,  posisinya lebih rendah dari imam.  

نهى رسول الله ص.م. أن يقوم الامام فوق شيء والناس خلفه ، يعنى أسفل منه .

Namun dua hadits di atas tidak diketahui (ditemukan) adanya nasikh dan mansukh dari para 'Ulama, sehingga kita kumpulkan pengertian kedua hadits tersebut, bahwa kebolehan imam dan makmum berada di tempat yang tidak setingkat. Demikian Kitab Fatwa Tarjih.

Dalam pada itu, demikian Kitab Fatwa Tarjih, kita dapati hadits yang menerangkan bahwa pernah Nabi SAW menjadi imam di balik bilik, sedang para makmum terpisah dengan tabir yang terdiri dari tikar.  Makmum mengikuti imam melalui suara Nabi SAW.  Nabi SAW tidak melarang makmum mengikuti shalat Nabi SAW dengan diantara-i (dihalang-halangi) tabir atau dinding (tembok) dan tikar seperti itu.  Hanya saja beliau mengingatkan (karena saking kasih sayangnya kepada ummatnya), agar makmum tidak membebani dirinya dengan shalat malam (qiyamullail) itu, karena shalat malam itu tidaklah wajib.  Lafazh haditsnya sbb. :

عن عائشة ر.ع. قالت: كان لنا حصيرة نبسطها فى النهار ونحتجرها بالليل ، فصلى فيها رسول الله ص.م. ذات ليلة ، فسمع المسلون قراءته فصلوا بصلاته . فلما كانت الليلة الثانية كثروا فاطلع عليهم فقال : اكلفوا من الأعمال ما تطيقون ،  فان الله لا يمل حتى تملوا . (رواه احمد)  

Dalama Kitab Himpunan Fatwa Majlis 'Ulama Indonesia (MUI), terkait dengan masalah di atas dikemukakan, mengutip Kitab Al Majmu' Syarah Muhadzdzab Lisy-Syiiraazy oleh Imam Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf An-Nawawy, atau yang disebut Imam Nawawi Damaskus, jilid 4 , halaman 197, atau catakan lain hal. 107 dst. dijelaskan sbb. :

للامام والمأموم فى المكان ثلاثة احوال :  احدها أن يكونا فى مسجد فيصح الاقتداء ، سواء قربت المسافة بينهما أم بعدت لكبر المسجد ، وسواء اتحد البناء أم اختلف ، كصحن المسجد وصفته وسرداب فيه وبئر مع سطحه وساحته والمنارة التي هي من المسجد . تصح الصلاة فى كل هذه الصور وما اشبهها إذا علم صلاة الإمام ولم يتقدم عليه.  سواء كان اعلا منه أو أسفل ، ولا خلاف فى هذا .  ونقل اصحابنا فيه اجماع المسلمين .

Artinya :

Bagi imam dan makmum dalam suatu tempat terdapat 3 keadaan : 

- salah satunya, keadaan keduanya dalam satu masjid, maka sah mengikuti.  Sama saja dekat jarak keduanya atau jauh, lantaran besarnya (bangunan) masjid. Dan sama saja, apakah bangunan masjid itu menyatu atau berpisah-pisah (tetapi masih di area / asset masjid), macam halaman masjid, sofa (tempat-tempat duduk dekat) masjid, bangunan dalam tanah masjid, sumur beserta atapnya, pekarangan masjid, dan menara yang merupakan bagian dari masjid.  Sah shalat di tiap-tiap bentuk keadaan ini dan sesuatu keadaan yang menyerupainya, (dengan syarat) apabila ia (makmum) mengetahui shalatnya imam dan tidak mendahuluinya.   Sama saja (tidak menjadi masalah) apakah imam posisinya lebih tinggi dari makmum atau lebih rendah.  Dan tidak ada khilaf (perselisihan/berbeda pandangan diantara para 'Ulama) dalam (konteks masalah) ini.  Dan teman-teman kami - kata Imam An-Nawawy Damaskus - mengutip (adanya) konsensus / kesepakatan (para 'Ulama) kaum muslimin. 

Imam Syafi'i lebih awal-awal menjelaskan dalam Kitab Al Umm-nya :

فالاختيار أن يكون مساويا للناس.  ولو كان ارفع منهم أو أخفض لم تفسد صلاته ولا صلاتهم ، ولا بأس أن يصلي المأموم من فوق المسجد بصلاة الإمام فى المسجد إذا كان سمع صوته أو يرى بعض من خلفه .

Artinya:

Maka (pandangan yang) terpilih hendaklah sama-sama bagi manusia.  Jika ia (imam) berada di posisi (tempat) yang lebih tinggi dari para makmum atau lebih rendah, maka tidaklah rusak shalat imam dan tidak rusak pula shalat para makmum.  Tidak masalah, makmum shalat di atas masjid bersama imam dalam suatu masjid, apabila ia (makmum) ada lagi (dapat) mendengar suaranya imam, atau makmum dapat melihat sebahagian orang yang berada di belakang imam.

Fatwa MUI

Majlis 'Ulama Indonesia memutuskan / memfatwakan :

"Shalat dalam satu masjid yang bertingkat dilakukan dengan satu imam adalah BOLEH dan SAH, dengan syarat ada tanda dan gerak-gerik imam dapat diketahui oleh makmum, baik dengan mata ataupun dengan pendengaran. Demikian fatwa MUI.

Apa lagi dibantu dengan IT dan teknologi modern, macam sound system dan layar televisi, tetapi khusus untuk jamaah di area masjid tersebut, tidak sah untuk jama'ah di luar area masjid tersebut, walau terdengar atau dapat melihat lewat layar televisi, mengingat pandangan para 'Ulama seperti disinggung di atas. (Pen.).   Wallaahu a'lam.

Demikian, semoga bermanfaat. Baarokallaahu fiikum.


Sumber bacaan :

1. Al Majmu' Syarah Muhadzdzab, An-Nawawy Damaskus, Jld.4, hal. 107 dst.

2. Fiqh Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, Jld.1, hal.202 dst. 

3. Fatwa Tarjih, Jld.3, hal.92-94.

4. Himpunan Fatwa MUI, hal. 26-27, dll.

Komentar