Kajian Idul Adha: Hukum Berqurban

 Oleh Ust. Drs. Abu Bakar



Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang sahih, para ulama menetapkan bahwa hukum berqurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan untuk diamalkan). Orang yang mampu namun meninggalkannya tanpa uzur dipandang makruh (dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya).

Perhatikan hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "ضَحَّى النَّبِيُّ ﷺ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ."

"Sesungguhnya Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kambing gibas yang putih belang dan bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sendiri, menyebut nama Allah (basmalah) dan bertakbir."

(HR. Bukhari dan Muslim dari Anas r.a.)

Juga terdapat hadits lainnya yang menekankan pentingnya berqurban bagi orang yang mampu:

"مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا."

"Barang siapa memiliki kelapangan rezeki namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami (yakni shalat Idul Adha)."

(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a.)

Dari hadits ini, dipahami bahwa meninggalkan qurban bagi yang mampu merupakan tindakan yang tidak disukai (makruh), bahkan Nabi SAW sampai menyatakan agar tidak menghadiri shalat Id sebagai bentuk teguran keras.

Kesimpulan:

  • Hukum qurban adalah sunnah muakkadah.

  • Makruh hukumnya bagi orang mampu tetapi sengaja tidak berqurban.

  • Qurban adalah ibadah yang menunjukkan ketakwaan dan kepedulian sosial.

Semoga bermanfaat.
Baarakallaahu fiikum.


Sumber bacaan:

  1. Fiqih Sunnah, Jilid 3, hlm. 274

  2. Al-Hidaayah, hlm. 222

  3. Bulughul Maram, hlm. 282–283, dan lainnya.

Komentar