Oleh Ust. Drs. Abu Bakar
Secara hukum asal, ibadah qurban adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan untuk diamalkan. Hal ini disepakati oleh mayoritas ulama fiqih setelah meneliti konteks (siyāqul kalām) dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Namun, dalam kondisi tertentu, hukum sunnah tersebut bisa berubah menjadi wajib. Setidaknya terdapat dua keadaan yang menjadikan qurban hukumnya wajib:
1. Apabila Diniatkan Sebagai Nadzar
Contohnya: seseorang berkata,
"Ya Allah, jika aku sembuh dari sakit ini, aku akan berqurban seekor kambing pada Idul Adha tahun ini."
Maka, qurbannya menjadi wajib untuk dilaksanakan karena ia telah bernadzar kepada Allah.
Dalilnya:
من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه
"Barang siapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Dan barang siapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia melaksanakannya."
(HR. Bukhari dari ‘Aisyah r.a.)
2. Apabila Diucapkan Secara Langsung sebagai Ibadah Qurban
Misalnya, seseorang mengatakan:
-
“Kambing ini untuk Allah.”
-
“Hewan ini adalah hewan qurban.”
Meskipun belum secara eksplisit menyebut “nadzar,” namun menurut Imam Malik rahimahullah, jika seseorang menyebutkan atau membeli hewan dengan niat untuk qurban, maka itu menjadi wajib baginya untuk menunaikannya.
Kesimpulan:
Qurban menjadi wajib dalam dua keadaan:
-
Bila dinadzarkan secara lisan (janji kepada Allah).
-
Bila ada pernyataan niat eksplisit bahwa hewan itu untuk qurban.
Demikian penjelasan ringkas mengenai kondisi qurban yang bisa menjadi wajib.
Semoga bermanfaat.
Baarakallaahu fiikum.
Sumber bacaan:
-
Fiqih Sunnah, Jilid 3, hlm. 274
-
Al-Hidaayah, hlm. 222
-
Bulughul Maram, hlm. 282–283, dan lainnya.
Komentar
Posting Komentar