Kajian Ramadhan: Orang yang Diberi Kemurahan (Dispensasi) Berbuka tetapi Wajib Membayar Fidyah

 Oleh Ust. Drs. Abu Bakar



Dalam Islam, ada kelompok orang yang dibolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, bagi mereka yang tidak mampu lagi berpuasa secara permanen, tidak memiliki harapan sembuh, atau tidak mungkin menghindari pekerjaannya yang berat, wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Berikut adalah golongan-golongan tersebut:

1. Kakek atau nenek yang sudah tua dan tidak sanggup lagi berpuasa

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhu ketika menafsirkan ayat:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin..."
(QS Al-Baqarah: 184)

Ibnu Abbas berkata, ayat ini adalah dispensasi bagi orang tua renta yang tidak sanggup lagi berpuasa, maka mereka wajib memberi makan seorang miskin setiap hari sebagai pengganti puasa.

(HR Bukhari, dari ‘Atā’)

2. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh

Jika seorang Muslim mengalami penyakit kronis yang tidak memungkinkan ia berpuasa dan bila berpuasa justru memperburuk kesehatannya, maka ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah.

Ini dianalogikan dengan orang tua renta karena sama-sama memiliki uzur berupa kesulitan fisik (masyaqqah). Dasar hukumnya antara lain:

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."
(QS Al-Baqarah: 195)

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
(HR Ahmad dan Ibnu Majah)

3. Pekerja berat yang tidak memiliki pekerjaan lain

Contohnya adalah penambang batu bara di daerah terpencil, buruh angkut, sopir antarprovinsi, atau pekerja pengeboran minyak di laut, yang tidak bisa mengganti profesinya dan tetap harus menafkahi keluarganya. Jika berpuasa sangat membahayakan kondisi tubuh dan pekerjaannya tidak bisa ditunda, maka boleh berbuka dan menggantinya dengan fidyah.

Dasarnya adalah analogi dengan orang sakit atau lanjut usia yang tak mampu berpuasa, karena memiliki uzur yang sama yaitu masyaqqah syadidah (kesulitan berat).

4. Perempuan hamil atau menyusui

Jika seorang ibu mengkhawatirkan keselamatan janin atau bayinya, maka ia boleh berbuka dan wajib membayar fidyah.

Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhu berkata:

“Ayat (QS Al-Baqarah: 184) adalah dispensasi untuk orang tua renta, wanita hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terhadap keselamatan anaknya, maka hendaknya keduanya berbuka dan memberi makan satu orang miskin per hari.”
(HR Abu Dawud dari Ikrimah, dan Al-Bazzar)

Ibnu Umar juga pernah ditanya tentang perempuan hamil:

“Jika ia khawatir atas anaknya, maka hendaklah ia berbuka dan memberi makan satu orang miskin setiap hari.”
(HR Malik dan Baihaqi, dari Nafi’)

Pendapat para ulama

  • Imam Syafi’i dan Ahmad: Jika ibu hamil/menyusui berbuka karena khawatir anaknya, maka ia wajib qadha dan fidyah. Jika karena khawatir dirinya, maka hanya wajib qadha.

  • Imam Hanafi: Wajib qadha saja, tanpa fidyah.


Catatan Tambahan

Satu mudd fidyah setara dengan ± setengah liter bahan makanan pokok, tetapi bisa ditambah dengan lauk-pauk, sayur, dan makanan lainnya sesuai standar makan masyarakat yang bersangkutan. Yang penting makanan itu cukup dan layak untuk satu kali makan seorang miskin.


Kesimpulan

  1. Orang yang tidak mampu lagi berpuasa secara permanen (kakek-nenek, sakit menahun) wajib membayar fidyah.

  2. Pekerja berat yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya juga dibolehkan berbuka dan mengganti dengan fidyah.

  3. Wanita hamil atau menyusui yang khawatir terhadap anaknya juga wajib membayar fidyah jika berbuka.

  4. Ketentuan fidyah disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat, dengan ukuran minimal satu mudd per hari.

Baarakallāhu fīkum.


Sumber Bacaan

  1. Fiqih Sunnah, Jilid 1, hlm. 387

  2. Al-Adzkar, Imam An-Nawawi, hlm. 172

  3. Kitab Tarjih, hlm. 184–185

  4. Pedoman Puasa, Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy

  5. Bulūghul-Marām dan Subulus-Salām

  6. Al-Kabā’ir, karya Imam Adz-Dzahabi


Komentar