Kajian Seputar Mayit Niyāhah: Meratapi dan Menangisi Mayit

 Oleh Ust. Drs. Abu Bakar



Pendahuluan

Menangis karena ditinggal orang yang wafat pada dasarnya adalah hal yang wajar dan diperbolehkan dalam Islam. Tangisan itu merupakan reaksi alami (tabiat manusia) yang timbul karena rasa kehilangan, cinta, dan belas kasih.

Namun, ketika tangisan itu berubah menjadi ratapan yang berlebihan—seperti meraung-raung, berteriak histeris, memukul-mukul tubuh, atau mengeluhkan takdir—maka hal itu dilarang keras dalam ajaran Islam. Larangan ini bukan hanya berkaitan dengan akhlak, tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap keadaan si mayit di alam kubur.


Hadis Tentang Larangan Niyāhah

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ.

“Mayit disiksa di dalam kuburnya karena diratapi atasnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab RA)

Hadis ini menunjukkan bahwa perbuatan meratapi mayit dapat menimbulkan dampak buruk bagi si mayit, khususnya jika keluarga atau orang-orang di sekitarnya tidak menjaga adab ketika berduka.


Apa Itu Niyāhah?

Niyāhah secara istilah adalah menangisi mayit dengan suara keras disertai ratapan, seperti mengeluh, menyesali takdir, menyebut-nyebut jasa si mayit secara berlebihan, dan berteriak seperti orang kehilangan akal. Dalam sebagian masyarakat, hal ini sering dianggap sebagai bentuk cinta atau hormat, padahal dalam Islam niyāhah adalah perbuatan yang dilarang.

Para ulama, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, menjelaskan bahwa menangis atas mayit itu ada dua macam:

1. Tangisan yang Wajar dan Manusiawi

Tangisan ini muncul secara spontan sebagai ekspresi kasih sayang, dan tidak disertai dengan keluhan terhadap takdir Allah. Tangisan semacam ini diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.

Contohnya, Rasulullah ﷺ menangis ketika:

  • Seorang anak kecil sedang menghadapi sakaratul maut (HR. al-Bukhari dan Muslim)

  • Putra beliau, Ibrahim, wafat saat masih balita.
    Beliau bersabda:

    “Sesungguhnya mata meneteskan air mata, hati merasa sedih, tetapi kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai oleh Allah.”
    (HR. al-Bukhari)

2. Tangisan Berlebihan yang Disertai Ratapan (Niyāhah)

Jenis tangisan ini dilakukan dengan suara keras, teriakan, ratapan panjang, atau bahkan tindakan seperti menyobek pakaian dan memukul tubuh sendiri. Ini adalah perbuatan yang diharamkan, karena mengandung unsur protes terhadap takdir Allah, dan dapat menyebabkan si mayit disiksa di alam kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.


Sikap Seorang Mukmin Saat Duka

Seorang muslim yang beriman seyogianya bersabar, menerima takdir Allah dengan ikhlas, dan mendoakan kebaikan untuk si mayit. Tidak selayaknya ia memperturutkan hawa nafsu kesedihan yang berlebihan sehingga melanggar batasan syariat.

Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“(Orang-orang yang beriman) apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali’.”
(QS. Al-Baqarah: 156)


Hukum Niyāhah dalam Pandangan Ulama

Para ulama menetapkan bahwa niyāhah adalah haram, karena termasuk perbuatan tercela yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Bahkan, meratapi mayit bisa membawa kerugian bagi si pelaku dan si mayit, baik di dunia maupun di alam kubur.

“Niyāhah adalah perbuatan haram karena mengandung unsur pengingkaran terhadap qadar Allah, merusak ketenangan orang lain, dan menyebabkan penderitaan bagi si mayit.”
(Syarah Riyāḍuṣ-Ṣāliḥīn, Jilid IV)


Penutup

Kesedihan adalah fitrah, tetapi Islam mengajarkan adab dalam berduka. Menangislah secukupnya, berdoalah dengan tulus, dan jauhi ratapan yang berlebihan. Karena cinta yang sejati kepada orang yang wafat justru ditunjukkan dengan doa, sabar, dan ikhlas menerima takdir Allah.

Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kekuatan untuk bersabar dan tidak tergelincir dalam larangan Allah saat berduka.

Baarakallāhu fīkum. Semoga Allah memberkahi kita semua.


Sumber Bacaan

  1. Riyāḍuṣ-Ṣāliḥīn, hal. 628

  2. Syarḥ Riyāḍuṣ-Ṣāliḥīn, Jilid IV, hal. 218–219

  3. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

  4. Fatāwā Syaikh Ibn Utsaimin

  5. dan lain-lain

Komentar