Seri Tauhid (1): Sifat-Sifat Ahlussunnah Wal Jamaah

 Oleh Ust. Drs. Abu Bakar



Kita tidak serta-merta menerima pengakuan dari seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), sebelum melihat bukti-bukti nyata atau ciri-ciri otentik dari golongan tersebut. Mengapa demikian? Agar kita tidak terjebak atau tertipu oleh pihak-pihak yang mempolitisasi istilah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga menyimpang dari makna aslinya. Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi.

Syaikh Dr. Ṣāliḥ bin Fauzān dalam kitabnya Muqarrar At-Tauḥīd, Jilid 3, hlm. 167–168, menyebutkan beberapa sifat atau ciri Ahlussunnah wal Jamaah sebagai berikut:


1. Mengikuti Jalan yang Ditempuh Rasulullah ﷺ secara Lahir dan Batin

Ahlussunnah wal Jamaah menapaki jalan yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ, baik secara lahir maupun batin. Mereka tidak seperti orang-orang munafik, yang secara lahir tampak mengikuti Rasul, namun secara batin justru membenci umat Islam yang tulus mengamalkan sunnah Rasul.

Yang dimaksud dengan jejak Rasul adalah sunnah-sunnah beliau, yaitu segala yang berasal dari beliau berupa:

  • Ucapan (qawl),

  • Perbuatan (fi‘l),

  • Persetujuan (taqrīr).

Bukan berupa peninggalan fisik seperti tongkat, tempat duduk, atau pakaian beliau. Mengkeramatkan peninggalan fisik tersebut dapat membawa kepada kesyirikan, sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.


2. Mengikuti Generasi Pertama: Kaum Muhajirin dan Anṣār

Allah ﷻ telah memuliakan generasi awal Islam yang:

  • Menyaksikan turunnya wahyu Al-Qur’an,

  • Mendengar langsung penjelasan dari Rasulullah ﷺ,

  • Dan hidup bersama beliau tanpa perantara.

Maka, mengikuti mereka menempati posisi kedua setelah mengikuti Rasulullah ﷺ. Perkataan mereka menjadi ḥujjah (dalil) apabila tidak ditemukan nash dari Nabi ﷺ. Jalan para sahabat adalah:

Jalan yang paling selamat, paling berilmu, dan paling meyakinkan.

Adapun pendapat orang-orang muta’akhkhirīn yang mengatakan bahwa jalan Salaf lebih selamat, sedangkan jalan Khalaf lebih berilmu dan lebih pasti, lalu lebih memilih jalan Khalaf dan meninggalkan jalan Salaf, adalah kekeliruan besar. Untuk memahami agama secara otentik, kita harus menelusuri tafsir dan pemahaman Nabi ﷺ serta para sahabatnya.


3. Melaksanakan Wasiat Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap bid’ah adalah kesesatan.”
(HR. Abū Dāwūd no. 4607, at-Tirmiżī no. 2676; ḥadīṡ ṣaḥīḥ)

Kaum Ahlussunnah wal Jamaah senantiasa mengikuti jalan para Khulafaur Rāsyidīn: Abū Bakar, ‘Umar, ‘Uṡmān, dan ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhum, sebagai representasi terbaik generasi sahabat dari kalangan Muhājirīn dan Anṣār.

Dalam hal akidah, ibadah, dan akhlak, kita tidak boleh menyimpang dari pemahaman dan praktik mereka. Adapun dalam urusan muamalah duniawi, sebagian sudah ditentukan oleh agama, dan sebagian lainnya bersifat dinamis sesuai zaman. Untuk itu, umat Islam diperbolehkan berijtihad, khususnya para ulama yang kompeten.


4. Mengagungkan dan Mengutamakan Al-Qur’an serta Sunnah

Ahlussunnah wal Jamaah memuliakan Kitābullāh (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi ﷺ, dan mendahulukan keduanya dalam istinbāṭ (pengambilan hukum). Mereka tidak bergantung pada pendapat atau kebiasaan manusia yang tidak jelas dasar syar’inya.

Mereka meyakini bahwa perkataan yang paling benar adalah firman Allah ﷻ, sebagaimana dalam Al-Qur’an:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا.
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?”
(QS. An-Nisā’ [4]: 87)

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا.
“Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?”
(QS. An-Nisā’ [4]: 122)


5. Mengikuti Metodologi Tafsir yang Shahih

Dalam memahami Al-Qur’an, Ahlussunnah wal Jamaah merujuk pada kitab-kitab tafsir karya para ulama yang kredibel. Beberapa pendekatan metodologinya antara lain:

  1. Tafsīr Mufradāt: Penjelasan makna kata demi kata.

  2. Tafsīr Bil Ma’ṡūr (بِالْمَأْثُور): Berdasarkan ayat lain, hadits, dan atsar sahabat (contoh: Tafsīr Ibnu Kaṡīr).

  3. Tafsīr Mauḍū‘ī: Tematik, berdasarkan tema dan pengelompokan ayat.

  4. Tafsīr Taḥlīlī: Komprehensif dari banyak aspek (bahasa, asbāb an-nuzūl, maqāṣid asy-syarī‘ah, dll.).

  5. Tafsīr ‘Ilmī: Tafsir modern yang relevan dengan sains dan teknologi (contoh: Tafsīr al-Manār, al-Marāghī).

Namun, metode yang paling otentik dan sesuai dengan manhaj Salaf adalah tafsir bil ma’ṡūr.


6. Berpegang pada Ijmā‘ (Konsensus Ulama)

Ahlussunnah wal Jamaah menerima ijmā‘ sebagai landasan ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah.

Ijmā‘ adalah:

Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas perkara agama setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.

Ijmā‘ merupakan ḥujjah qath‘iyyah (dalil pasti) yang wajib diamalkan.


7. Menimbang Semua Urusan Agama dengan Tiga Dasar Pokok

Kaum Ahlussunnah wal Jamaah menimbang setiap perkara, baik ucapan maupun perbuatan, zahir maupun batin, dengan tiga tolok ukur utama:

  1. Al-Qur’an

  2. As-Sunnah

  3. Ijmā‘


Penutup

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita sebagai golongan yang senantiasa berusaha mendekati dan mengamalkan sifat-sifat Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan demikian, kita tidak ragu untuk menyatakan:

“Kami adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah.”

 

Komentar